Makalah Kematian, Menjelang Ajal, dan Berduka (Psikologi Perkembangan 2)


1.1 Latar Belakang

Manusia adalah makhluk sosial dan konkrit yang memiliki potensial. Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial karena tidak dapat hidup tanpa orang lain. Manusia juga merupakan makhluk konkrit yang potensial dan dapat mengembangkan dirinya baik secara fisik maupun secara psikis karena didalam diri manusia tersimpan kemampuan bawaan yang dapat dikembangkan secara terus-menerus. Perkembangan kemampuan manusia pun akan menurun seiring dengan bertambahnya usia karena perkembangan manusia seperti kurva yang naik kemudian turun.

Semakin bertambahnya usia, maka akan terjadi perubahan-perubahan baik secara fisik, pola pikir, daya ingat, kemampuan, dan masih banyak lagi. Dengan bertambahnya usia seseorang, ia akan mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya karena berbagai keterbatasan yang dimilikinya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial pada masa dewasa akhir (tua) menurun, baik secara kualitas maupun secara kuantitas. Selain itu, pandangan di usia tua tentang kehidupan saat ini cenderung berubah. Mereka tidak lagi memikirkan hal-hal seperti yang dipikirkan oleh masa anak-anak, remaja, bahkan dewasa. Pada tahap ini mereka akan lebih berfikir tentang hal-hal penting untuk dilakukan dalam waktu yang masih tersisa sebelum datangnya kematian.

Tahap dewasa dalam psikologi perkembangan dibagi menjadi tiga masa, yaitu masa dewasa awal (early adulthood), masa dewasa menengah (middle adulthood), dan masa dewasa akhir (late adulthood). Masa dewasa akhir adalah periode penutup dalam rentang kehidupan manusia. Pada makalah ini kami akan membahas lebih lanjut tentang masa dewasa akhir dalam menghadapi kematian, menjelang ajal dan berduka.



1.2 Rumusan Masalah


2.      Bagaimana perspektif perkembangan mengenai kematian?

3.      Bagaimana mengatasi kematian diri sendiri?

4.      Bagaimana mengatasi kematian orang lain?



1.3 Tujuan Makalah

1.      Dapat mengetahui yang dimaksud dengan kematian,menjelang ajal dan berduka

2.      Dapat mengetahui perspektif perkembangan mengenai kematian

3.      Dapat mengetahui mengatasi kematian diri sendiri

4.      Dapat mengetahui bagaimana mengatasi kematian orang lain









2.1 SISTEM KEMATIAN DAN KONTEKS BUDAYA

Setiap tahunnya di AS, kematian orang lanjut usia mencakup dua pertiga dari 2 juta kematian. Bagaimana seseorang dalam menghadapi kematiannya adalah bagian dari budaya individu itu sendiri. Setiap budaya memiliki cara menghadapi kematian, dan variasinya terjadi di seluruh budaya.

A.    Sistem Kematian dan Variasi Budayanya

Robert Kastenbaum (2009) menekankan bahwa sejumlah komponen menentukan system kematian di budaya tertentu, komponen-komponen itu adalah :

·         Orang : setiap orang terlibat dengan kematian pada suatu titik, karena kematian tidak dapat dihindari.

·         Tempat atau konteks : hal ini mencakup rumah sakit, tempat pemakaman, rumah duka, medan perang, dan monument peringatan.

·         Waktu : kematian melibatkan waktu atau kejadian untuk menghormati mereka yang telah meninggal.

·         Objek : banyak objek di suatu budaya terkait dengan kematian, termasuk peti mati, berbagai benda berwarna hitam seperti pakaian, pita lengan dan mobil jenazah.

·         Simbol : seperti tengkorak dan tulang, dan juga ritual di berbagai upacara keagamaan.

B.     Perubahan Kondisi Historis

Kapan, dimana, dan mengapa manusia meninggal telah berubah secara historis. Perubahan historis melibatkan kelompok usia dimana kematian paling banyak terjadi, saat ini kematian umumnya terjadi pada orang lanjut usia. Lebih dari 80 persen kematian di AS terjadi dirumah sakit atau institusi lain.





2.2 MENDEFINISIKAN KEMATIAN dan ISU-ISU MENGENAI HIDUP atau  
         KEMATIAN.

Adakah satu titik dalam proses kematian yang merupakan titik dimana kematian itu terjadi, atau apakah kematian merupakan suatu proses bertahap? Keputusan-keputusan apakah yang dapat diambil individu mengenai hidup, kematian, dan perwatan kesehatan?




Berakhirnya fungsi-fungsi biologis tertentu, seperti pernapasan dan tekanan darah, serta kakunya tubuh dianggap sebagai tanda-tanda yang jelas untuk menyimpulkan bahwa seseorang telah meninggal. Beberapa decade yang lalu, mendefinisikan kematian menjadi lebih kompleks (Zamperetti & Bellomo, 2009).

Mati Otak (brain death) suatu definisi neurologis menyangkut kematian seseorang. Seseorang memperlihatkan kematian otak jika semua aktivitas elektris di otak telah menghilang selama jangka waktu tertentu.




Dalam kasus penyakit berat atau kecelakaan, pasien mungkin tidak memberikan respons secara cukup dan turut berpartisipasi dalam memutuskan perawatan medis yang akan dijalaninya. Sebagai persiapan terhadap kondisi ini, beberapa individu telah membuat beberapa pilihan sebelumnya.

·         Kematian Alamiah dan Advanced Directives.

Para pasien yang menderita penyakit lanjut mungkin cenderung memilih untuk meninggal dibandingkan bertahan hidup dalam kondisi kesakitan. Organisasi “Choice in Dying” menciptakan dokumen mengenai kehendak hidup, dokumen ini berisi tentang keinginan orang yang bersangkutan mengenai prosedur medis yang mungkin ingin digunakan untuk mempertahankan hidup ketika situasi kesehatannya memburuk dan tidak memiliki harapan. Advanced Directives menyatakan bahwa prosedur yang dapat mempertahankan hidup boleh dilepas apabila kematian akan terjadi tidak lama lagi.

·         Euthasiana (Kematian yang Mudah).

Euthasiana adalah sebuah tindakan mengakhiri hidup tanda rasa sakit atas seseorang yang menderita penyakit yang tidak dapat di sembuhkan atau cacat yang parah, kadangkala disebut “membunuh karena kasih” terdapat dua jenis euthanasia, yaitu :

1.      Euthanasia Pasif : menghentikan penanganan yang dulunya diberikan untuk mempertahankan hidup.

2.      Euthanasia Aktif : kematian yang disebabkan dengan sengaja.

·         Perawatan Bagi Orang yang Menjelang Ajal.

Orang yang menghadapi kematian sering kali kesepian, dan kesakitan. Mereka seringkali tidak memperoleh perawatan yang cukup. Sebuah penelitian terbaru mengungkapkan bahwa dalam banyak kasus, dokter tidak memberikan informasi yang cukup pada pasien tentang sisa hidup mereka atau berbagai pengobatan yang bisa mempengaruhi kehidupan mereka (Harringtonb & Smith, 2008).

Ada beberapa cara untuk menghilangkan rasa sakit di akhir hidup (Cowley & Hager, 1995) :

1.      Buatlah surat wasiat.

2.      Berikan kuasa pada seseorang.

3.      Berikan instruksi spesifik pada dokter.

4.      Jika ingin meninggal dirumah, bicarakan dengan dokter dan keluarga.

5.      Periksa apakah asuransi anda mengganti biaya perawatan rumah sakit dan hospice.





Kematian dapat terjadi kapan saja di sepanjang kehidupan manusia. Kematian dapat terjadi selama perkembangan prakelahiran melalui keguguran atau lahir dalam keadaan tidak bernyawa. Dimasa kanak-kanak, kematian lebih banyak disebabkan oleh kecelakaan atau penyakit, dibandingkan dengan masa remaja cenderung disebabkan oleh kecelakaan ketika mengendarai kendaraan, bunuh diri, atau dibunuh.

Kematian yang terjadi di antara orang lanjut usia lebih banyak disebabkan oleh penyakit kronis seperti jantung dan kanker. Penyakit yang diderita oleh orang-orang lanjut usia sering kali telah menjadikan mereka tidak mampu sebelum akhirnya terbunuh, dimana hal ini merupakan serangkaian proses yang secara perlahan-lahan menggiring pada kematian.


Usia anak-anak dan orang dewasa memengaruhi cara mereka mengalami dan berpikir mengenai kematian. Sebagian besar peneliti menemukan bahwa seiring dengan pertumbuhannya, anak-anak mengembangkan sikap yang lebih matang mengenai kematian (Haysip & Hansson, 2003).

*               Masa Kanak-Kanak

Anak-anak yang berusia 3 hingga 5 tahun hanya memiliki sedikit ide atau tidak sama sekali mengenai pengertian kematian. Mereka dapat mencampur adukkan kematian dengan tidur atau bertanya keheranan.

*            Masa Remaja

Remaja mengembangkan konsep yang lebih abstrak mengenai kematian dari pada anak-anak. Remaja mendeskripsikan kematian dalam pengertian kegelapan, sinar, transisi, atau ketiadaan (Wenestam dan Wass, 1987). Mereka juga mengembangkan pandangan religious dan filosofi mengenai kematian dan apakah terdapat kehidupab setelah kematian.

*         Masa Dewasa

               Kesadaran mengenai kematian seseorang meningkat di masa dewasa menengah. Masa dewasa menengah telah memperlihatkan bahwa masa setengah-baya merupaka waktu yang tersisa dalam hidupnya. Di usia tua kematian diri sendiri dapat diterima secara lebih baik. Meningkatnya pemikiran dan percakapan mengenai kematian, dan meningkatnya penghayatan mengenai integritas yang diperoleh melalui suatu tinjauan hidup, dapat membantu orang lanjut usia menghadapi kematiannya.



2.4 Menghadapi Kematian Diri Sendiri

A.    Tahap-Tahap Menjalang Kematian Menurut Kubler-Ross

1)      Penolakan dan isolasi (denial and isolation)

Tahap pertama dari proses menjelang kematian sebagaimana dinyatakan oleh Kubler-Ross, dimana orang yang akan meninggal menyangkal bahwa ia akan meninggal. Orang tersebut mungkin berkata “tidak, itu tidak dapat terjadi pada saya. itu tidak mungkin.” Ini merupakan reaksi umum yang muncul pada penyakit terminal. Meskipun demikian, penolakan biasa hanya merupakan mekanisme pertahanan diri yang bersifat sementara. Penolakan akan diganti dengan meningkatnya kesadaran apabila orang tersebut dihadapkan pada hal-hal seperti pertimbangan keungan, urusan yang belum selesai, yang kekhawatiran mengenai kelangsungan hidup anggota keluarga nantinya.

2)      Marah (enger)

Tahap kedua menurut Kubler-Ross, di mana orang yang mendekati ajal menyadari bahwa penyangkalan yang dilakukakan selama ini tidak dapat dipertahankan lagi. Penyangkalan memberi jalan bagi munculnya kemarahan, kebencian, kegusaran, dan iri hati. Pertanyaan yang biasanya muncul pada orang yang menjelang ajalnya adalah “mengapa saya?” pada titik ini, seseorang menjadi semakin sulit dirawat karena kemarahannya sering kali salah sasaran dan dilampiaskan kepada dokter, perawat, anggota keluarga, dan bahkan kepada Tuhan. Realisasi kehilangan ini sangat besar, dan orang-orang yang menjadi simbol kehidupan, energi, dan fungsi-fungsi yang kompeten, menjadi target utama kebenciandan kecemburuan yang mendekati ajal tersebut.

3)      Menawar (bargaining)

Tahap ketiga dari Kubler-Ross, di mana orang tersebut berharap kematiannya dapat ditunda atau ditangguhkan. Beberapa orang melakukan penawaran atau negosisasi seringkali kepada Tuhan ketika mereka mencoba menunda kematiannya. Secara psikologis, orang ini mengatakan, “ya, saya, tapi..” sebagai pertukaran terhadap beberapa hari, minggu, atau bulan kebidupan, orang ini berjanji akan mendedikasikan hidupnya pada Tuhan melayani atau orang lain.

4)      Depresi (depression)

Tahap keempat dari Kubler-Ross, dimana orang tersebut mulai menerima kepastian atas kematiannya. Periode depresi atau persiapan duka-cita dapat saja muncul. Orang yang mendekati ajal mungkin akan menjadi pendiam, menolak dikunjungi, serta menhabiskan banyak waktu untuk menangis dan berduka. Perilaku ini normal dan sebenarnya merupakan usaha nyata untuk melepaskan diri dari seluruh objek yang disayangi. Menurut Kubler-Ross, orang pada tahap ini tidak perlu dihibur karena orang tersebut perlu merenungkan kematiannya yang akan segera terjadi.

5)      Menerima (acceptance)

Tahap kelima dari proses menjelang kematian sebagaimana dikemukakan oleh Kubler-Ross, di mana orang tersebut mengembangkan rasa damai, menerima nasibnya, dan dalam banyak kasus, ingin dibiarkan sendiri. Dalam tahap ini, perasaan dan rasa sakit pada fisik mungkin hilang. Kubler-Ross menggambarkan tahap kelima sebagai akhir perjuangan menjelang kematian.

B.     Pemahaman Terhadap Kendali Dan Penolakan

Bagi beberapa orang lanjut usia yang menghadapi kematian, pemahaman terhadap kendali yang dimilikin dapat menjadi sebuah strategi yang adaptif. Ketika individu dibiarkan untuk memiliki keyakinan bahwa mereka dapat memengaruhi dan mengendalikan peristiwa seperti memperpanjangan hidupnya mereka dapat menjadi lebih waspada dan gembira. Pemberian kendali kepada penghuni panti wreda dapat meningkatkan sikap mereka dan memperpanjang usia hidupnya (Rodin & Langer, 1977).

Bagi sejumlah individu penolakan juga dapat menjadi suatu cara yang baik dalam menghadapi kematian. Cara ini dapat bersikap adaptif maupun maladaptif. Penolakan dapat digunakan untuk menghindari pengaruh negatif yang disebabkan oleh perasaan terkejut. Penolakan ini mencegah individu agar tidak mengatasinya dengan perasaan marah dan terluka meskipun demikian, apabila penolakan mencegah kita untuk menjalankan fungsi-fungsi yang dapat mempertahankan hidup, maka penolakan itu dikatakan bersifat maladaptif. Penolakan dapat baik maupun buruk kualitas adaptifnya perlu dievaluasi secara individual.

C.     Beberapa Konteks Di Mana Orang Meninggal

Bagi individu yang menedekati ajal. Konteks di mana mereka meninggal merupakan hal yang penting. Lebih dari 50 persen orang Amerika meninggal di rumah sakit, sekitar 20 persen meninggal di rumah perawatan. Beberapa orang menghabiskan hari-hari terakhirnya dalam kondisi sendirian dan ketakutan (Clay, 1997). Kini terdapat semakin banyak orang yang meninggal di perawatan hospice yang lebih manusiawi.

Rumah sakit menawarkan sejumlah keuntungan penting bagi individu yang mendekati ajal sebagai contoh, para staf profesional sudah siap dan dilengkapi dengan teknologi medis yanga dapat memperpanjang hidup. Namun, rumah sakit bukanlah tempat terbaik bagi banyak orang untuk meninggal (Pantilat & Isaac, 2008). Sebagian besar individu mengatakan bahwa mereka lebih memilih meninggal  di rumah (Jackson & Kawan-kawan, 2010; Kalish & Reynolds, 1976). Meskipun demikian, banyak diantara mereka yang akan menjadi beban bagi keluarga. Individu-individu yang menghadapi kematian juga mengkhawatirkan kemampuan dan ketersediaan penanganan medis yang siap sedia dalam kondisi darurat, apabila mereka tinggal di rumah.



2.5 MENGATASI KEMATIAN ORANG LAIN


Sebagian psikolog berpendapat bahwa menjelang kematiannya, individu yang bersangkutan maupun orang-orang terdekat sebaiknya mengetahuinya agar dapat saling berinteraksi dan berkomnikasi berdasarkan pengetahuan itu (Banja, 2005). Apa keuntunga yang diperoleh dari kesadaran yang terbuka ini bagi individu menjelang kematian?  Pertama, individu dapat menyesuaikan hidupnya dengan cara meninggal sesuai dengan keinginan. Kedua, mereka dapat menyesuaikan beberapa rencana dan proyek, dapat melakukan pengaturan bagi orang yang masih hidup, dan dapat berpartisipasi dalam membuat keputusan mengenai pemakamannya. Ketiga, individu berkesempatan meninjau kembali hidupnya, bercakap-cakap dengan orang-orang yang penting dalam hidupnya, dan mengakhiri kehidupannya dengan kesadaran mengenai bagaimana kehidupannya selama ini. Dan keempat, individu itu menjadi lebih memahami apa yang terjadi dengan tubuhnya dan apa yang dilakukan oleh para staf medis terhadap tubuhnya (Kalish, 1981).

Selain mengusahakan agar komunikasi berlangsung terbuka, beberapa ahli berpendapat bahwa percakapan sebaiknya tidak difokuskan pada patologi mental atau persiapan kematian namun pada kekuatan individu dan persiapan untuk menghadapi sisa hidupnya. Karena individu sudah tidak dimungkinkan lagi meraih prestasi yang bersifat eksternal, komunikasi sebaiknya difokuskan pada pertumbuhan pribadi yang bersifat internal. Perlu diingat pula bahwa dukungan yang diberikan individu yang hendak meninggal sebaiknya tidak hanya diberikan oleh para profesional kesehatan mental, namun juga diberikan oleh perawatan, doketer. Pasangan atau kawan-kawan dekat. Dalam Mengoneksikan Perkembangan dengan Kehidupan, anda dapat membaca lebih jauh mengenai strategi-strategi komunikasi yang efektif dengan orang yang sedang menjelang ajalnya.

B.     DUKA CITA

Dimensi-Dimensi Duka Cita

*      Dukacita (grief) : Adalah kumpulan emosi, ketidak yakinan, kecemasan karena keterpisahan (separation anxiety), keputusaasaan, kesedihan, dan kesepian, yang menyertai kehilangan seseorang yang kita cintai.

*      Dukacita Berkepanjangan (Prolonged grief) : Jenis dukacita dengan keputusan berkepanjangan dan tidak terselesaikan selama beberapa waktu tertentu (Kersting & Kroker, 2010; kresting & kawan-kawan, 2009). Orang yang kehilangan orang tempat bergantung secara emosional sering kali beresiko tinggi mengembangakan dukacita yang berkepanjangan (Johnson dkk., 2007).

*      Dukacita Disenfranchised : Dukacita seseorang terhadap orang meninggal, yang secara sosial merupakan kehilangan yang tidak dapat diungkapkan atau didukung secara terbuka (Aloi, 2009; hendry, 2009).

*      Model Dwi Proses Dalam Mengatasi Pengalaman Kehilangan : Merupakan model usaha coping kematian yang terdiri dari dua dimensi utama, yaitu: (1) stersor yang berorientasi pada kehilangan, dan (2) stresor yang berorientasi pada pemulihan (Stroebe, Schut, dan Boerner, 2010; Streobe, Schut, dan Stroebe, 2005). Stresor yang berorientasi pada kehilangan fokus pada individu yang telah meninggal dan mencakup mengenang kembali secara positif atau negatif.

*      Coping Dan Jenis Kematian : Pengaruh kematian terhadap individu-individu yang selamat sangat dipengaruhi oleh situasi dimana kematian itu terjadi (Smith ddk, 2009). Kematian yang terjadi secara mendadak, sebelum waktunya disebabkan oleh kekerasan atau traumatik, cenderung memiliki dampak yang lebih intens dan lama terhadap individu yang ditinggalkan; proses coping juga terasa lebih sulit bagi mereka (Sveen dan Walby, 2008). Kematian semacam itu seringkali disertai dengan ganguan stress pascatrauma (post-traumatic stress atau PTSD).




Proses dukacita dapat menstimulasi individu untuk berjuang agar memahami dunianya. Ketika kematian disebabkan oleh kecelakaan atau bencana, usaha untuk memahaminya sulit untuk dicapai.

D.    KEHILANGAN PASANGAN HIDUP

Pengalaman kehilangan yang paling berat adalah kematian pasangan. Pengalaman kehilangan dapat menimbulkan risiko untuk menderita masalah-masalah kesehatan meskipun pengalaman kegelisahan yang dirasakan oleh pasangan yang masih hidup dapat bervariasi. Dukungan sosial dapat membantu pasangan yang ditinggalkan.


Bentuk perkabung yang berlangsung di setiap budaya dapat bervariasi. Sekitar dua pertiga jenzah dimakamkan, sedangkan sepertiganya dikremasi. Aspek penting dalam masa perkabuangan di beberapa budaya adalah upacara pemakaman. Di tahun-tahun terakhir ini, industri pemakaman telah menjadi bahan perdebatan. Dalam beberapa budaya, tradisi makan bersama dilakukan setelah pemakaman.







3.1 Kesimpulan

            Kematian biasanya terjadi di usia dewasa akhir, namun dapat juga terjadi pada fase perkembangan manapun. Kematian beberapa orang, khususnya anak-anak dan dewasa sering dianggap lebih tragis daripada kematian pada orang yang lanjut usia. Pada anak-anak dan dewasa muda kematian banyak disebabkan karena kecelakaan, sedang orang dewasa lanjut banyak disebabkan oleh penyakit kronis.

Duka cita merupakan kelumpuhan secara emosional, tidak percaya perpisahan, cemas, putus asa, sedih, dan kesepian yang muncul saat kita akan melalui tiga fase duka cita, yaitu terkejut, putus asa, dan pulih kembali. Sedang empat fase duka cita yaitu kelumpuhan, rindu, depresi, dan pulih kembali. Biasanya kehilangan yang paling sulit adalah kematian pasangan hidup. Kematian pasangan dikaitkan dengan depresi.







Daftar Pustaka



Santrock, John W. 2012. Life-Span Development: Perkembangan Masa-Hidup Edisi 13 Jilid 2.
          Jakarta: Erlangga.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Tes CPM (Colours Proggresive Matrices)

Makalah Psikologi Kesehatan (Psikologi Umum 2)